PENDAHULUAN
Kata
“filsafat” dan “filsuf” berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia
dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, filsuf merupakan seorang
pecinta kebijaksanaan. Disebutkan dalam tradisi kuno bahwa Pythagoras adalah
orang pertama yang menggunakan kata filsuf. Hanya saja kesaksian sejarah
mengenai kehidupan serta aktivitas Pythagoras tercampur dengan legenda-legenda
sehingga acapkali tak bisa dibedakan atas dasar reka-rekaan saja.[1]
Kendati
lahir di Yunani, lambat laun filsafat menyebar ke berbagai daerah. Akhirnya
timbullah berbagai perkembangan dalam bidang filsafat. Salah satunya ialah
hasil proses intelektual rumit oleh para cendikiawan Siria, Persia, Turki,
Barbar, dan lain-lain yang kemudian disebut sebagai Filsafat Islam.[2]
Salah
satu tokoh filsafat islam yang terkenal pada zamannya hingga saat ini ialah
Al-Farabi. Pria kelahiran Farab (sebuah kota di Turki tengah) itu oleh seorang
orientalis dianggap sebagai pendiri Filsafat Arab. Di sisi lain, sebagian
penulis Arab mengakuinya sebagai filsuf muslim terbesar. Bahkan mereka
menyebutnya sebagai guru kedua/the second master (guru pertama/the first
master mereka sematkan pada Aristoteles).[3]
Dalam makalah ini, kami akan
memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
-
Seperti
apakah riwayat hidup Al-Farabi dan karya-karyanya?
-
Bagaimanakah
ajaran dan pemikiran filsafatnya?
Riwayat
Hidup dan Karya-karyanya
Al-Farabi,
nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan
di Wasij, distrik Farabi (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transonxania),
Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia
dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang ia dikatakan
keturunan Persia dan terkadang ia disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai
ajaran Islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, lebih tepat ia disebut
keturunan Persia.[4]
Tapi meskipun begitu ia tidak pernah meninggalkan jubah Turki kemanapun ia
pergi.[5] Al-Farabi
lebih dikenal di Dunia Barat sebagai Alpharabius,[6]
sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia
dilahirkan.[7]
Sejak
kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang
dikuasainya antara lain adalah bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan. Munawir
Sjadzali mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam
bahasa; tetapi yang ia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa yaitu Arab,
Persia, Turki dan Kurdi.[8]
Kendatipun
Al-Farabi merupakan bintang terkemuka di kalangan filosof Muslim, ternyata
informasi tentang dirinya sangat terbatas. Ia tidak merekam lika-liku
kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi
dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu
Bakar Al-Saraj dan belajar Logika serta filsafatkepada seorang Kristen, Abu
Bisyr Mattius (Matta) ibn Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat
kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibn Jailan. Akan
tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu
filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi,
mengajar, mengarang, mengulas buku-buku filsafat. Di antara muridnya yang
terkenal adalah Yahya ibn Adi, filosof Kristen.[9]
Dan menurut beberapa literatur ia menetap dan tinggal di kota ini selama 20
tahun.
Pada
usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus dan
berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo.
Sultan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi,
lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diberinya kedudukan yang baik.[10]
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan
tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.[11]
Al-Farabi bersikap sebagai sufi, meskipun didesak-desak oleh Sultan, ia hanya
mau menerima “upah” empat dirham sehari untuk apa yang dilakukannya.[12] Selanjutnya,
sisa tunjangan jabatan yang diterimanya dibagi-bagikannya kepada fakir miskin
dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.[13]
Akhirnya pada bulan Desember 950 M atau 339 H filosof Muslim besar ini
menghembuskan napasnya yang terakhir di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Al-Farabi
yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki wawasan keilmuan yang
sangat luas dan menganggap filsafat sebagai ilmu atau alat untuk mengetahui
hakikat sesuatu dan sejalan seperti yang diungkapkan Aristoteles. Karena
keilmuannya yang luas, maka pandangannya dalam filsafat menjadi rujukan atau
referensi bagi tokoh-tokoh filosof sesudahnya seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd dan
lain-lain. Pandangannya dalam filsafat mampu mengakhiri kontradiksi antara
pemikiran Plato dan Aristoteles dalam risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay
Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibn
Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan hampir
seluruh isi buku itu dihapalnya, tetapi belum memahaminya. Ibn Sina baru
memahami filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Farabi Tahqiq Ghardh
Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thobi’ah yang menjelaskan tujuan dan maksud
metafisika Aristoteles. Karena pengetahuannya ya g mendalam mengenai filsafat
Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Al-Mu’allim Al-Tsani,
sedangkan Al-Mu’allim Al-Awwal adalah Aristoteles.[14]
Selain
dalam filsafat, jasanya di bidang musik luar biasa. Buku-buku teorinya mengenai
musik mendapat penghargaan tertinggi di Barat. Salah satu kayanya di bidang ini
yang paling menonjol adalah kitab Mausiqi Al-Kabir, yang dianggap
sebagai buku yang paling berwibawa mengenai musik Timur. Menurut Ahli musik
Barat; Sarton, buku ini merupakan risalah terpenting yang pernah ditulis orang
mengenai teori musik. Menurut Al-Farabi sendiri, ia menyususun buku itu
lantaran tidak puas dengan buku teori musik Barat pada zaman itu yang
dianggapnya tidak jelas dan penuh kekeliruan. Dan pandangannya tentang musik
banyak mempengaruhi penulis musik Barat seperti Robert Kilwardley (1279 M),
Raimundo Lull (1315 M), dan Adam de Fuldo.[15]
Al-Farabi
dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar yang memiliki pengetahuan yang
sangat luas dan memiliki banyak keahlian di bidang keilmuan serta meninggalkan
karya tulisnya yang digolongkan dalam beberapa tema; logika, fisika, metafisika, kimia, matematika, ilmu alam, kemiliteran politik, astrologi,
musik, sastra, fiqh dan ketuhanan. Namun karya-karya tersebut tidak banyak
diketahui seperti karya Ibn Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya
berupa karangan pendek (risalah) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang
mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang masih dapat
dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak,
kurang lebih 30 judul saja.[16]
Di antara judul karyanya adalah sebagai berikut:
1.
Al-Jam’u
baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu;
2.
Tahqiq
Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thabi’ah;
3.
Syarh
Risalah Zainun Al-Kabir
Al-Yunani;
4.
Al-Ta’liqat;
5.
Risalah
fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allum Al-Falsafah;
6.
Kitab
Tashil Al-Sa’adah;
7.
Risalah
fi Isbat Al-Mufaraqah;
8.
‘Uyun
Al-Masa’il;
9.
Ara’
Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10.
Ihsa
Al-Ulum wa Al-Ta’rif bi Aghradiha;
11.
Maqalat
fi Ma’ani Al-Aql;
12.
Fushus
Al-Hikam;
13.
Fushul
Al-Hukm;
14.
Risalat
Al-‘Aql;
15.
As-Siyasah Al-Madaniyah;
16.
Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha;
17.
Risalah
Shudira Biha Al-Kitab;
18.
Risalah
fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha;
19.
Syarh
Kitab Al-Sama’ Al-Tabi’i li Aristutalis;
20.
Syarh
Kitab Al-Sama’ wa Al-A’lam li Aristutalis
21.
Kitab
fi Al-Wahid wa Al-Wahdah;
22.
Kitab
Al-Millat Al-Fadhilah;
23.
Mausiqi
Al-Kabir;
Dari
kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi,
terlihat jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filsuf, ilmuwan dan cendekiawan
kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran
Prancis mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama.
Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam.
Akan tetapi, Al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan
persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh
pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah menciptakan suatu sistem
filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia Barat.[17]
Al-Farabi
berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan sampai ke tangan orang awam.
Oleh karena itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau
filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar jangan dapat diketahui oleh
sembarang orang, dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau.
Ia juga berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan
sama-sama membawa kepada kebenaran.[18]
AJARAN DAN PEMIKIRAN
Al-Farabi
tergolong filsuf sinkretisme (pemaduan) yang meyakini kesatuan (ketunggalan)
filsafat. Sejatinya upaya pemaduan telah dimulai sejak jauh sebelum munculnya
Al-Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat terutama
sejak adanya aliran Neoplatonisme. Hanya saja, upaya yang dilakukan Al-Farabi
lebih banyak. Artinya, dia tak hanya mempertemukan aneka ragam aliran filsafat,
melainkan juga mempercayai bahwa aliran-aliran itu meski memiliki perbedaan
pada corak dan macamnya, pada hakikatnya semuanya adalah satu.[19]
Sebagai
seorang filsuf, Al-Farabi mengerahkan segenap kemampuan akalnya untuk memperoleh
kebenaran. Di sisi lain, sebagai sorang muslim, ia berusaha untuk mencapai
Islam yang sempurna. Karenanya, dia berargumen bahwa agama dan filsafat
merupakan dua hal yang bersesuaian. Hal itu tak lepas dari keberadaan keduanya
sebagai jalan untuk mencari kebenaran. Keduanya merupakan hakikat yang sama.
Maka dari itu, kebenaran agama takkan bertentangan dengan kebenaran filsafat.
Perbedaannya terdapat dalam hal metode. Agama menggunakaan metode keimanan dan
kepasrahan jiwa, sedangkan filsafat berasaskan pada penalaran dan argumen yang
logis.[20]
Al-Farabi
mencanangkan sebuah pepatah, yakni pengetahuan tentang kebahagiaan sejati bukan
saja merupakan prasyarat kebahagiaan abadi, tetapi juga prasyarat kelangsungan
hidup yang nyata setelah mati. Dari sini Al-Farabi menempatkan keabadian hanya
pada bagian intelektual jiwa. Dengan kata lain, ia membuat jiwa tergantung pada
kadar pemahaman intelektual jiwa.[21]
A.
Logika
Dalam
logika, Al-Farabi mengikuti Aristoteles.[22]
Menurutnya, logika berbeda dengan ilmu-ilmu linguistik, khususnya dengan tata
bahasa. Logika berurusan dengan konsep-konsep yang mengatur ilmu-ilmu itu serta
cara-cara menjaga kekeliruan. Kepercayaan yang benar secara kebetulan saja itu
tidak cukup. Ada keharusan untuk memberi alasan serta mempertahankannya
berdasarkan “hukum pembuktian” yang terletak dalam logika.[23]
Di
sisi lain, logika berurusan dengan kaidah-kaidah percakapan “batin” dan
“lahir”, dengan catatan kaidah-kaidah tersebut diterapkan secara universal ke
semua bahasa umat manusia. Maka dari itu, kaidah-kaidah logika ini tidak
bersifat konvensional.[24]
B.
Fisika
Sebagaimana
logika, dalam bidang fisika Al-Farabi juga mengikuti Aristoteles.[25]
Dia mendefinisikannya sebagai penyelidikan terhadap benda-benda alam dan
aksiden-aksiden yang melekat padanya. Fisika berkenaan dengan sebab-sebab
formal, material, efisien, dan final dari segala sesuatu.[26]
Al-Farabi
memecahkannya menjadi delapan pembagian utama, yakni yang berkenaan dengan:
-
Aksiden-aksiden
dan prinsip-prinsip yang umum terdapat dalam sebuah substansi fisik.
-
Substansi-substansi
sederhana.
-
Pembentukan
dan kehancuran.
-
Kondisi
unsur-unsur.
-
Gabungan
benda-benda yang terbit dari unsur-unsur itu.
-
Mineral-mineral.
-
Tumbuhan-tumbuhan.
-
Hewan-hewan.[27]
C.
Metafisika
Dalam
bidang metafisika, Al-Farabi mengikuti Plotinus.[28]
Menurutnya, metafisika dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama:
-
Yang
berkenaan dengan eksistensi-eksistensi wujud, yakni ontologi.
-
Yang
berkenaan dengan substansi-substansi imaterial, sifat dan bilangannya, serta
derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu
wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang
merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu dan sumber wujudnya adalah
teologi.
-
Yang
berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demokrasi yang mendasari ilmu-ilmu
khusus.
D.
Negara
Al-Farabi
mengelompokkan negara menurut prinsip-prinsip teologik yang abstrak. Kota utama
merupakan tempat yang di dalamnya kehidupan yang baik dijadikan tujuan utama
dan keutamaan dapat berkembang dengan subur. Karenanyalah kota itu sering
dijadikan bahan rujukan.[29]
Selanjutnya,
Al-Farabi menjelaskan bahwa negara-negara dibedakan dengan yang lain dan dengan
negara utama semata-mata menurut tujuan yang mereka cari. Namun demikian,
mungkin juga memandang negara-negara ini secara normatif, sejauh mereka
cenderung memburuk menjadi bentuk-bentuk korup yang bermacam-macam. Di sinilah
Al-Farabi melukiskannya sebagai bentuk-bentuk yang berlawanan.[30]
E.
Etika dan Politik
Al-Farabi
mengikuti Plato dalam bidang etika dan politik.[31]
Al-Farabi memyajikan akalbudi sebagai jalan terakhir untuk mencapai kebahagiaan
yang notabene merupakan cita-cita untuk memperoleh tingkat akalbudi aktif dan
untuk mengambil bagian dari imaterialitasnya. Sesuai dengan tiga macam
kebajikan (moral, intelektual, dan artistik), ada tiga macam tindakan yang
sangat diperlukan untuk mencapai tataran ini, yakni intelektual, sukarela, dan
ragawi.[32]
Keadilan
bersangkut paut dengan distribusi serta pemeliharaan harta benda berharga.
Konsep keadilan yang lebih umum berkenaan dengan pelaksanaan keutamaan dalam
kaitannya dengan sesama manusia, apapun wujud keutamaan itu. Pengamalan
keutamaan tersebut mengisyaratkan adanya pembagian kerja dalam negara yang
dituntut oleh perbedaan bakat alami baik perorangan maupun kelompok-kelompok
yang menopang bangunannya.
KESIMPULAN
Al-Farabi,
nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi. Ia
dilahirkan di Wasij, distrik Farabi (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transonxania), Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Kebanyakan karyanya
telah hilang, dan yang masih dapat dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai
kepada kita maupun yang tidak, kurang lebih 30 judul saja.[33]
Di antara judul karyanya adalah sebagai berikut:
24.
Al-Jam’u
baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu;
25.
Tahqiq
Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thabi’ah;
26.
Syarh
Risalah Zainun Al-Kabir
Al-Yunani;
27.
Al-Ta’liqat;
28.
Risalah
fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allum Al-Falsafah;
29.
Kitab
Tashil Al-Sa’adah;
30.
Risalah
fi Isbat Al-Mufaraqah;
31.
‘Uyun
Al-Masa’il;
32.
Ara’
Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
33.
Ihsa
Al-Ulum wa Al-Ta’rif bi Aghradiha;
34.
Maqalat
fi Ma’ani Al-Aql;
35.
Fushus
Al-Hikam;
36.
Fushul
Al-Hukm;
37.
Risalat
Al-‘Aql;
38.
As-Siyasah Al-Madaniyah;
39.
Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha;
40.
Risalah
Shudira Biha Al-Kitab;
41.
Risalah
fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha;
42.
Syarh
Kitab Al-Sama’ Al-Tabi’i li Aristutalis;
43.
Syarh
Kitab Al-Sama’ wa Al-A’lam li Aristutalis
44.
Kitab
fi Al-Wahid wa Al-Wahdah;
45.
Kitab
Al-Millat Al-Fadhilah;
46.
Mausiqi
Al-Kabir;
Al-Farabi
tergolong filsuf sinkretisme (pemaduan) yang meyakini kesatuan (ketunggalan)
filsafat. Menurutnya, kebenaran filsafat takkan pernah bertentangan dengan
agama. Dia mengikuti Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, plato dalam
bidang etika dan politik, serta plotinus dalam bidang metafisika.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil. 2009. Seratus Tokoh
Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cetakan kesembilan.
Amien, Miska Muhammad. 2006. Epistemologi
Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI-Press.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat
Islam. 1987. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta:
Teras.
Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf
dari Plato sampai Ibnu Bajjah. 2014. Yogyakarta: IRCiSod.
Soleh, A. Khudori. 2012. Wacana
Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan kedua.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar
Filsafat Islam: Konsep Filsuf dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia.
Cetakan ketiga.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan kelima.
[1]
Bertens, Keer, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm. 17-18.
[2]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Karya,
1987), hlm. 15.
[3]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta:
IRCiSod, 2014), hlm. 244-245.
[4]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 65.
[5]
Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009), hlm. 281.
[6]
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 44.
[7]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep Filsuf dan Ajarannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 80.
[8]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 80.
[9]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof, hlm. 65-66.
[10]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof, hlm. 66.
[11]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81.
[12]
Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim, hlm. 281.
[13]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81.
[14]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 82.
[15]
Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim, hlm. 282.
[16]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83.
[17]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 84.
[18]
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 97.
[19]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta:
IRCiSod, 2014), hlm. 246-247.
[20]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hlm. 247-248.
[21]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1987), hlm. 189-190.
[22]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[23]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1987), hlm. 169.
[24]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam,hlm. 169-170.
[25]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[26]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1987), hlm. 172.
[27]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 172.
[28]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[29]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1987), hlm. 172.
[30]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 172.
[31]
Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[32]
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1987), hlm. 184.
[33]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar