Senin, 23 Mei 2016

Filsafat Al-Farabi

PENDAHULUAN

Kata “filsafat” dan “filsuf” berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, filsuf merupakan seorang pecinta kebijaksanaan. Disebutkan dalam tradisi kuno bahwa Pythagoras adalah orang pertama yang menggunakan kata filsuf. Hanya saja kesaksian sejarah mengenai kehidupan serta aktivitas Pythagoras tercampur dengan legenda-legenda sehingga acapkali tak bisa dibedakan atas dasar reka-rekaan saja.[1]
Kendati lahir di Yunani, lambat laun filsafat menyebar ke berbagai daerah. Akhirnya timbullah berbagai perkembangan dalam bidang filsafat. Salah satunya ialah hasil proses intelektual rumit oleh para cendikiawan Siria, Persia, Turki, Barbar, dan lain-lain yang kemudian disebut sebagai Filsafat Islam.[2]
Salah satu tokoh filsafat islam yang terkenal pada zamannya hingga saat ini ialah Al-Farabi. Pria kelahiran Farab (sebuah kota di Turki tengah) itu oleh seorang orientalis dianggap sebagai pendiri Filsafat Arab. Di sisi lain, sebagian penulis Arab mengakuinya sebagai filsuf muslim terbesar. Bahkan mereka menyebutnya sebagai guru kedua/the second master (guru pertama/the first master mereka sematkan pada Aristoteles).[3]
            Dalam makalah ini, kami akan memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
-          Seperti apakah riwayat hidup Al-Farabi dan karya-karyanya?
-          Bagaimanakah ajaran dan pemikiran filsafatnya?



Riwayat Hidup dan Karya-karyanya

Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad  ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, distrik Farabi (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transonxania), Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang ia dikatakan keturunan Persia dan terkadang ia disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran Islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, lebih tepat ia disebut keturunan Persia.[4] Tapi meskipun begitu ia tidak pernah meninggalkan jubah Turki kemanapun ia pergi.[5] Al-Farabi lebih dikenal di Dunia Barat sebagai Alpharabius,[6] sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.[7]
Sejak kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan  luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain adalah bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang ia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa yaitu Arab, Persia, Turki dan Kurdi.[8]
Kendatipun Al-Farabi merupakan bintang terkemuka di kalangan filosof Muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Ia tidak merekam lika-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar Logika serta filsafatkepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius (Matta) ibn Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibn Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, mengulas buku-buku filsafat. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibn Adi, filosof Kristen.[9] Dan menurut beberapa literatur ia menetap dan tinggal di kota ini selama 20 tahun.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diberinya kedudukan yang baik.[10] Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.[11] Al-Farabi bersikap sebagai sufi, meskipun didesak-desak oleh Sultan, ia hanya mau menerima “upah” empat dirham sehari untuk apa yang dilakukannya.[12] Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang diterimanya dibagi-bagikannya kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.[13] Akhirnya pada bulan Desember 950 M atau 339 H filosof Muslim besar ini menghembuskan napasnya yang terakhir di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki wawasan keilmuan yang sangat luas dan menganggap filsafat sebagai ilmu atau alat untuk mengetahui hakikat sesuatu dan sejalan seperti yang diungkapkan Aristoteles. Karena keilmuannya yang luas, maka pandangannya dalam filsafat menjadi rujukan atau referensi bagi tokoh-tokoh filosof sesudahnya seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain. Pandangannya dalam filsafat mampu mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles dalam risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya, tetapi belum memahaminya. Ibn Sina baru memahami filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Farabi Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thobi’ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles. Karena pengetahuannya ya g mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Al-Mu’allim Al-Tsani, sedangkan Al-Mu’allim Al-Awwal adalah Aristoteles.[14] 
Selain dalam filsafat, jasanya di bidang musik luar biasa. Buku-buku teorinya mengenai musik mendapat penghargaan tertinggi di Barat. Salah satu kayanya di bidang ini yang paling menonjol adalah kitab Mausiqi Al-Kabir, yang dianggap sebagai buku yang paling berwibawa mengenai musik Timur. Menurut Ahli musik Barat; Sarton, buku ini merupakan risalah terpenting yang pernah ditulis orang mengenai teori musik. Menurut Al-Farabi sendiri, ia menyususun buku itu lantaran tidak puas dengan buku teori musik Barat pada zaman itu yang dianggapnya tidak jelas dan penuh kekeliruan. Dan pandangannya tentang musik banyak mempengaruhi penulis musik Barat seperti Robert Kilwardley (1279 M), Raimundo Lull (1315 M), dan Adam de Fuldo.[15]  
Al-Farabi dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar yang memiliki pengetahuan yang sangat luas dan memiliki banyak keahlian di bidang keilmuan serta meninggalkan karya tulisnya yang digolongkan dalam beberapa tema; logika, fisika,  metafisika, kimia, matematika,  ilmu alam, kemiliteran politik, astrologi, musik, sastra, fiqh dan ketuhanan. Namun karya-karya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibn Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa karangan pendek (risalah) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang masih dapat dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, kurang lebih 30 judul saja.[16] Di antara judul karyanya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu;
2.      Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thabi’ah;
3.      Syarh Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4.      Al-Ta’liqat;
5.      Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allum Al-Falsafah;
6.      Kitab Tashil Al-Sa’adah;
7.      Risalah fi Isbat Al-Mufaraqah;
8.      ‘Uyun Al-Masa’il;
9.      Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10.  Ihsa Al-Ulum wa Al-Ta’rif  bi Aghradiha;
11.  Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
12.  Fushus Al-Hikam;
13.  Fushul Al-Hukm;
14.  Risalat Al-‘Aql;
15.  As-Siyasah Al-Madaniyah;
16.  Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha;
17.  Risalah Shudira Biha Al-Kitab;
18.  Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha;
19.  Syarh Kitab Al-Sama’ Al-Tabi’i li Aristutalis;
20.  Syarh Kitab Al-Sama’ wa Al-A’lam li Aristutalis
21.  Kitab fi Al-Wahid wa Al-Wahdah;
22.  Kitab Al-Millat Al-Fadhilah;
23.  Mausiqi Al-Kabir;
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi, terlihat jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filsuf, ilmuwan dan cendekiawan kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran Prancis mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi, Al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia Barat.[17]
Al-Farabi berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan sampai ke tangan orang awam. Oleh karena itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar jangan dapat diketahui oleh sembarang orang, dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau. Ia juga berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa kepada kebenaran.[18]


AJARAN DAN PEMIKIRAN

Al-Farabi tergolong filsuf sinkretisme (pemaduan) yang meyakini kesatuan (ketunggalan) filsafat. Sejatinya upaya pemaduan telah dimulai sejak jauh sebelum munculnya Al-Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat terutama sejak adanya aliran Neoplatonisme. Hanya saja, upaya yang dilakukan Al-Farabi lebih banyak. Artinya, dia tak hanya mempertemukan aneka ragam aliran filsafat, melainkan juga mempercayai bahwa aliran-aliran itu meski memiliki perbedaan pada corak dan macamnya, pada hakikatnya semuanya adalah satu.[19]
Sebagai seorang filsuf, Al-Farabi mengerahkan segenap kemampuan akalnya untuk memperoleh kebenaran. Di sisi lain, sebagai sorang muslim, ia berusaha untuk mencapai Islam yang sempurna. Karenanya, dia berargumen bahwa agama dan filsafat merupakan dua hal yang bersesuaian. Hal itu tak lepas dari keberadaan keduanya sebagai jalan untuk mencari kebenaran. Keduanya merupakan hakikat yang sama. Maka dari itu, kebenaran agama takkan bertentangan dengan kebenaran filsafat. Perbedaannya terdapat dalam hal metode. Agama menggunakaan metode keimanan dan kepasrahan jiwa, sedangkan filsafat berasaskan pada penalaran dan argumen yang logis.[20]
Al-Farabi mencanangkan sebuah pepatah, yakni pengetahuan tentang kebahagiaan sejati bukan saja merupakan prasyarat kebahagiaan abadi, tetapi juga prasyarat kelangsungan hidup yang nyata setelah mati. Dari sini Al-Farabi menempatkan keabadian hanya pada bagian intelektual jiwa. Dengan kata lain, ia membuat jiwa tergantung pada kadar pemahaman intelektual jiwa.[21]

A.    Logika
Dalam logika, Al-Farabi mengikuti Aristoteles.[22] Menurutnya, logika berbeda dengan ilmu-ilmu linguistik, khususnya dengan tata bahasa. Logika berurusan dengan konsep-konsep yang mengatur ilmu-ilmu itu serta cara-cara menjaga kekeliruan. Kepercayaan yang benar secara kebetulan saja itu tidak cukup. Ada keharusan untuk memberi alasan serta mempertahankannya berdasarkan “hukum pembuktian” yang terletak dalam logika.[23]
Di sisi lain, logika berurusan dengan kaidah-kaidah percakapan “batin” dan “lahir”, dengan catatan kaidah-kaidah tersebut diterapkan secara universal ke semua bahasa umat manusia. Maka dari itu, kaidah-kaidah logika ini tidak bersifat konvensional.[24]

B.     Fisika
Sebagaimana logika, dalam bidang fisika Al-Farabi juga mengikuti Aristoteles.[25] Dia mendefinisikannya sebagai penyelidikan terhadap benda-benda alam dan aksiden-aksiden yang melekat padanya. Fisika berkenaan dengan sebab-sebab formal, material, efisien, dan final dari segala sesuatu.[26]
Al-Farabi memecahkannya menjadi delapan pembagian utama, yakni yang berkenaan dengan:
-          Aksiden-aksiden dan prinsip-prinsip yang umum terdapat dalam sebuah substansi fisik.
-          Substansi-substansi sederhana.
-          Pembentukan dan kehancuran.
-          Kondisi unsur-unsur.
-          Gabungan benda-benda yang terbit dari unsur-unsur itu.
-          Mineral-mineral.
-          Tumbuhan-tumbuhan.
-          Hewan-hewan.[27]

C.    Metafisika
Dalam bidang metafisika, Al-Farabi mengikuti Plotinus.[28] Menurutnya, metafisika dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama:
-          Yang berkenaan dengan eksistensi-eksistensi wujud, yakni ontologi.
-          Yang berkenaan dengan substansi-substansi imaterial, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu dan sumber wujudnya adalah teologi.
-          Yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demokrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.

D.    Negara
Al-Farabi mengelompokkan negara menurut prinsip-prinsip teologik yang abstrak. Kota utama merupakan tempat yang di dalamnya kehidupan yang baik dijadikan tujuan utama dan keutamaan dapat berkembang dengan subur. Karenanyalah kota itu sering dijadikan bahan rujukan.[29]
Selanjutnya, Al-Farabi menjelaskan bahwa negara-negara dibedakan dengan yang lain dan dengan negara utama semata-mata menurut tujuan yang mereka cari. Namun demikian, mungkin juga memandang negara-negara ini secara normatif, sejauh mereka cenderung memburuk menjadi bentuk-bentuk korup yang bermacam-macam. Di sinilah Al-Farabi melukiskannya sebagai bentuk-bentuk yang berlawanan.[30]

E.     Etika dan Politik
Al-Farabi mengikuti Plato dalam bidang etika dan politik.[31] Al-Farabi memyajikan akalbudi sebagai jalan terakhir untuk mencapai kebahagiaan yang notabene merupakan cita-cita untuk memperoleh tingkat akalbudi aktif dan untuk mengambil bagian dari imaterialitasnya. Sesuai dengan tiga macam kebajikan (moral, intelektual, dan artistik), ada tiga macam tindakan yang sangat diperlukan untuk mencapai tataran ini, yakni intelektual, sukarela, dan ragawi.[32]
Keadilan bersangkut paut dengan distribusi serta pemeliharaan harta benda berharga. Konsep keadilan yang lebih umum berkenaan dengan pelaksanaan keutamaan dalam kaitannya dengan sesama manusia, apapun wujud keutamaan itu. Pengamalan keutamaan tersebut mengisyaratkan adanya pembagian kerja dalam negara yang dituntut oleh perbedaan bakat alami baik perorangan maupun kelompok-kelompok yang menopang bangunannya.

  


KESIMPULAN

Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad  ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, distrik Farabi (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transonxania), Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang masih dapat dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, kurang lebih 30 judul saja.[33] Di antara judul karyanya adalah sebagai berikut:
24.  Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu;
25.  Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Al-Thabi’ah;
26.  Syarh Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
27.  Al-Ta’liqat;
28.  Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allum Al-Falsafah;
29.  Kitab Tashil Al-Sa’adah;
30.  Risalah fi Isbat Al-Mufaraqah;
31.  ‘Uyun Al-Masa’il;
32.  Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
33.  Ihsa Al-Ulum wa Al-Ta’rif  bi Aghradiha;
34.  Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
35.  Fushus Al-Hikam;
36.  Fushul Al-Hukm;
37.  Risalat Al-‘Aql;
38.  As-Siyasah Al-Madaniyah;
39.  Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha;
40.  Risalah Shudira Biha Al-Kitab;
41.  Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha;
42.  Syarh Kitab Al-Sama’ Al-Tabi’i li Aristutalis;
43.  Syarh Kitab Al-Sama’ wa Al-A’lam li Aristutalis
44.  Kitab fi Al-Wahid wa Al-Wahdah;
45.  Kitab Al-Millat Al-Fadhilah;
46.  Mausiqi Al-Kabir;
Al-Farabi tergolong filsuf sinkretisme (pemaduan) yang meyakini kesatuan (ketunggalan) filsafat. Menurutnya, kebenaran filsafat takkan pernah bertentangan dengan agama. Dia mengikuti Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, plato dalam bidang etika dan politik, serta plotinus dalam bidang metafisika.


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jamil. 2009. Seratus Tokoh Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cetakan kesembilan.
Amien, Miska Muhammad. 2006. Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI-Press.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. 1987. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. 2014. Yogyakarta: IRCiSod.
Soleh, A. Khudori. 2012. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan kedua.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep Filsuf dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia. Cetakan ketiga.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan kelima.




[1] Bertens, Keer, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 17-18.
[2] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Karya, 1987), hlm. 15.
[3] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 244-245.
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 65.
[5] Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 281.
[6] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 44.
[7] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 80.
[8] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 80.
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof, hlm. 65-66.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof, hlm. 66.
[11] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81.
[12] Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim, hlm. 281.
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81.
[14] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 82.
[15] Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim, hlm. 282.
[16] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83.
[17] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 84.
[18] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 97.
[19] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246-247.
[20] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hlm. 247-248.
[21] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hlm. 189-190.
[22] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014),  hlm. 246.
[23] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hlm. 169.
[24] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam,hlm. 169-170.
[25] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[26] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hlm. 172.
[27] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 172.
[28] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[29] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hlm. 172.
[30] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 172.
[31] Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSod, 2014), hlm. 246.
[32] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hlm. 184.
[33] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar