I.
PENDAHULUAN
Pendapat atau pernyataan agar dapat diterima
dan sah, harus terdapat dukungan baik dari fakta maupun pemikiran. Argumen yang
sehat merupakan penentuan dalam menyatukan dalam fakta dan pemikiran menjadi
sebuah kesimpulan akhir. Namun tidak hanya argument yang sehat, jika kita
menggunakan fakta maka dibutuhkan relevansi dari fakta tersebut, dan kekritisan
guna memastikan apakah kesimpulan yang diambil sesuai dengan fakta dan
pemikiran tersebut.
Mungkin kita sudah sering mendengar istilah
otoritas atau kewibawaan. Meskipun begitu paham ini merupakan hal yang wajar
dilakukan manusia karena keterbatasan manusia dan ada beberapa hal yang harus
diketahui dan diarahkan agar tidak tersesat dalam otoritas atau kewibawaan yang
salah. Otoritas merupakan salah satu cara berpikir yang banyak dianut manusia,
baik secara sadar atau tidak.
Seperti banyaknya teori yang berkembang di
masyarakat, kita ambil salah satu contoh yakni teori evolusi Darwin. Teori ini
diakui kebenarannya oleh berbagai kalangan pada masanya, dikarenakan Darwin
dipandang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan teorinya tersebut. Hal ini
juga berkaitan dengan kemampuannya meyakinkan kebenaran teori tersebut, dan
tentunya melalui pembuktian ilmiah dan fakta-fakta penelitian. Teori ini
dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun hanya berlaku terbatas dalam jangka
waktu tertentu.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah ini sendiri berasal dari bahasa
Inggris yaitu authority yang berarti; yang berkuasa, ahli dan sumber.
Sedangkan dalam bahasa Latin yaitu autor yang berarti; perencana,
cikal-bakal, pembina dan pendiri.[1]
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia,
otoritas yaitu kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga masyarakat yang
memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya atau juga hak melakukan
tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Otoritas
merupakan pengetahuan yang didasarkan penghormatan terhadap orang-orang yang
mempunyai kewibawaan.
Ada beberapa pengertian mengenai otoritas
yaitu antara lain:[2]
1. Konsep itu mengacu pada individu atau
kelompok yang dianggap memilik pengetahuan sahih dan/atau kekuasaan legitim. a)
Dalam arti positif: otoritas diterima karena keuntungan yang diperoleh, atau
mudah diperoleh dari suatu sumber lainnya. b) Dalam arti negatif: otoritas
dipandang sebagai penindas dan pelaku pengetahuan dan kekuasaan yang tidak sah.
2. Dalam konteks etika, konsep itu
menunjukkan pada pentingnya pengaruh dari seorang individu, sistem pandangan
atau sebuah organisasi yang timbul dari kualitas tertentu atau dari pelayanan
yang diberikan. Otoritas dapat mengena pada politik, moral dan ilmu
pengetahuan. Hal itu tergantung pada bentuk pengaruh dan suasana.
3. Konsep itu juga menunjuk pada
kewenangan fisik, mental, atau moral dari pribadi-pribadi yang dapat mendorong
persetujuan pribadi terhadap arahan-arahan dari orang yang memiliki kewenangan
itu.
4. Merupakan kapasitas, atau didapat
sebagai pelaksanaan dengan pengaruh terhadap suatu kelompok. Hubungan yang
terbangun merupakan hubungan kekuatan ikatan secara pemikiran.[3]
5. Menurut Robert Bierstedt dalam An
Analysis of Social Power otoritas adalah institutionalized power. Hal
ini merupakan wewenang untuk meyakinkan anggota masyarakat, baik terstruktur
secara berkelompok maupun tidak. Hal ini merujuk pada pengakuan dan keabsahan
pemikiran. Keabsahan wewenang ini wajar dan patut dihormati.[4]
6. Penyamaan kehendak, dengan
pensyaratan subordinasi (terdapat kedudukan bawahan). [5]
Seseorang, institusi atau organisasi disebut
memiliki otoritas jika kekuasaan yang digunakannya dianggap sah, yaitu
diamanatkan oleh sistem norma yang kepadanya pemegang otoritas berbicara
mewakilinya. Munculnya norma yang seperti ini di masyarakat manusia cukup
kompleks, di mana konvensi, kebiasaan, adat dan tradisi memainkan peran yang
berbeda-beda.
Teori kontrak sosial merupakan salah satu
jenis solusi bagi masalah tentang basis otoritas, sedangkan pembuktian
kemanfaatan dari sejumlah sistem yang dipandu aturan adalah solusi yang lain.
Meski lazim untuk menemukan skeptisisme terhadap klaim-klaim tertentu otoritas,
namun ide bahwa koordinasi manusia -bahkan komunikasi juga- dapat eksis
tanpanya, biasanya dianggap terlalu fantastis.[6]
B. Otoritarianisme
Ada pandangan golongan yang menggunakan atau
mendasarkan pengujian kebenaran informasi atau pengetahuan pada suatu otoritas
tertentu, yang dalam istilahnya dinamakan paham otoritarianisme.
Otoritarianisme ini memiliki dua pengertian, yaitu sebagai berikut:[7]
1. Otoritarianisme merupakan pandangan
yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan
atau pengarahan hidup –atau keyakinan politis- yang benar. Otoritas ini tidak
dapat dipersoalkan. Otoritas semacam ini dipertentangkan dengan usaha individu
untuk mengetahui atau semangat bebas untuk menyelidiki kebenaran.
2. Otoritarianisme merupakan
kepercayaan bahwa pengetahuan dijamin dan disahkan oleh suatu sumber yang
otoriter. Paham ini mengakui tanpa pemikiran kritis pembuktian atau kesaksian
sebagai lawan atau kebalikan dari usaha yang bebas untuk mengetahui yang benar
atau salah atau yang palsu.
Jika seseorang menerima otoritas secara tidak
kritis, ia menghentikan usaha-usahanya yang bebas untuk mencari kebenaran.
Tanpa memandang bentuknya, sikap untuk menerima begitu saja suatu kesaksian
karena kepercayaan yang membabi-buta tanpa memperhatikan apakah kesaksian itu
sesuai dengan pengalaman atau akal, maka itu sungguh berbahaya.
Kelemahan dan bahaya otoritarianisme itu
banyak. Pertama, sebagai suatu sikap yang mencolok yaitu sikap tidak
menggunakan sarana untuk mengetahui betul tidaknya sesuatu kecuali karena ia
datang dari yang berkuasa. Otoritarianisme cenderung menghambat kemajuan dan mengesampingkan
pemikiran dan penyelidikan lebih jauh. Kita hidup di zaman masyarakat yang
berubah dengan pesat. Dan oleh karena itu kepercayaan dan praktik-praktik pada
suatu waktu tidak lagi sesuai pada waktu kemudian.
Kedua, jika para
penguasa berselisih atau konflik, dan ini lumrah terjadi, kita akan menjadi
bingung kecuali kalau kita mempunyai sumber lain sebagai pegangan.
Ketiga, kita dapat
tersesat oleh kebesaran penguasa kita. Dan sering kita tidak menyadari kalau
penguasa itu berbicara mengenai sesuatu yang mungkin sudah berada di seberang
bidang pengetahuannya. Seseorang yang sangat mahir dalam suatu bidang biasanya
dipercaya juga meski ia berbicara tentang hal-hal yang bukan keahliannya.
Keempat, kita mungkin
tersesat jika suatu keyakinan telah berurat akar dan meluas. Sikap menerima
yang telah meluas itu akan menambah prestise dan daya tarik penguasa. Dan ini
mempersulit kita mengungkapkan cacat-cacat lama.[8]
Oleh sebab itu, kita harus lebih melihat konteks
para penguasa otoritas tersebut dalam menganut paham otoritarianisme ini agar
tidak tersesat dan bahkan bisa menyesatkan orang lain yang juga menganut paham
ini lebih lekat dari pada kita. Dan kesesatan dalam penggunaan otoritas akan
dijelaskan dan diberi contoh lebih lanjut dibawah ini.
C. Kekeliruan dalam Penggunaan
Otoritas atau Kewibawaan
Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas,
yaitu kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau
kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas
ahli tersebut.[9]
Kesesatan ini terjadi bila kita, bukannya
memperlihatkan manfaat intrinsik dari masalah yang ada, melainkan tertarik
kepada otoritas dari tokoh utama untuk mendukung pendapat kita, argumentasi ini
mengandaikan bahwa apapun yang dinyatakan oleh seorang tokoh itu pasti benar,
padahal tidak sesuai dengan otoritas tokoh tersebut,[10]
seperti:
Pisau cukur ini sangat baik karena Cristiano
Ronaldo selalu menggunakannya. (Cristiano Ronaldo adalah seorang olahragawan.
Ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk
membuat pisau cukur.)
Bangunan UIN ini sangat kokoh karena Pak
Lukman Hakim yang mengatakannya. (Pak Lukman Hakim adalah menteri agama, bukan
seorang insinyur bangunan).
Hadis populer yang memiliki arti “Siapa yang
mengenali dirinya, ia mengenali Tuhannya” merupakan hadis sahih menurut sufi.
(Kaum sufi tidak memiliki otoritas dalam menetapkan kesahihan suatu hadis, dan
setelah diteliti ulama hadis ternyata hadis tersebut maudhu’). [11]
Kesesatan ini juga terjadi bila kita menerima
suatu proposisi hanya dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi. Misalnya: Saya
percaya akan Tuhan karena tradisi agama mengonfirmasinya.[12]
Kewibawaan terkadang dibutuhkan untuk memberi
bobot pada penalaran kita. Pengutipan seorang yang expert patut diberi
perhatian dan sangat dibenarkan.[13]
Apabila terdapat perselisihan paham antara kewibawaan, tugas dan persoalan
kita, hendaknya kritis,[14]
jangan hendaknya kita memilih sekehendak kita salah satu dari kewibawaan itu
saja ataukah kita membuang sama sekali semua bentuk kewibawaan itu. Dengan
demikian kita terperangkap kepada pemakaian kewibawaan yang bukan sesungguhnya
atau kewibawaan palsu.[15]
D. Ukuran Pengujian Otoritas dan
Kewibawaan
Seperti dijelaskan di atas mengenai kekeliruan
penggunaan otoritas dan kewibawaan, maka otoritas dan kewibawaan ini harus
melalui tahap penyaringan terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah otoritas dan
kewibawaan. Fakta sebagai sumber otoritas dan kewibawaan diperoleh melalui dua
jalur, yakni pengamatan kita sendiri dan pengamatan orang lain. Namun realitas
dalam berpikir seringkali kebanyakan orang terpengaruh dari pemikiran dari
pengamatan orang lain. Seperti halnya kesaksian dari tokoh dan orang-orang yang
berpengaruh, yang memiliki wewenang dalam pemikiran tersebut.[16]
Pemikiran harus
berdasar pada evidensi objektif dari data-data yang diamati, diukur, maupun
dieksperimenkan. Hal ini berguna untuk menfilter pendapat yang hanya sekedar
kabar burung saja. Obyek pengujian otoritas dan kewibawaan adalah meneliti
pengamatan dan pemikiran lain dengan pengamatan serta pemikiran kita untuk
menyaring adakah kesalahan yang terdapat dalam pemikiran tersebut.
Ukuran pengujian
otoritas dan kewibawaan adalah sebagai berikut:[17]
1. Apakah kewibawaannya masih terdapat
keraguan?
Sebuah kewibawaan tidak akan terdapat keraguan
lagi jika telah melalui proses penelitian fakta-fakta dengan cermat dan akurat
dan pengambilan kesimpulan yang bermanfaat. Demi mengambil kewibawaan yang
tidak lagi diragukan, kita harus seteliti mungkin dalam menelisik motif-motif
tertentu yang secara intrinsik mempengaruhi kewibawaan tersebut. Seperti halnya
motif ekonomi, motif politik, motif agama, dan lain sejenisnya.
2. Apakah pendidikan, background,
serta pengalaman sang ahli yang membuat sang ahli berwenang dalam bidang ini?
Melihat latar belakang seseorang merupakan
sebuah keakuratan demi tercapainya kewibawaan yang relevan. Era sekarang
merupakan era spesialisasi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan terdapat banyak
pencabangan dalam kajian masing-masing pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi
tolak ukur pemikiran seseorang, bagaimana perkembangan pola pikir dan
sisitematisasi wewenang pengetahuan tersebut. Pengalaman dalam lapangan dan
pengetahuan khusus merupakan dasar dari tumbuhnya wewenang tersebut.
3. Apakah kewibawaan menunjukkan dasar
bagi kesimpulan dan memberikan evidensi objektif?
Jika kita akan menggunakan kewibawaan,
kita harus bersikap skeptis sehat terhadap sang ahli, apakah sang ahli ini
percaya terhadapa kesimpulan dari prinsip kewibawaannya. Apabila sang ahli
benar-benar berdasar pada pemikirannya, kita harus skeptis sehat mengenai dasar
faktual yang dianggap sang ahli sebagai evidensi objektif masih terdapat
simpang siur dan dapat dipermasalahkan lagi, apakah pemikiran sang ahli sehat,
apakah pendapat yang berlawanan dengan sang ahli telah dipertimbangkan, apakah
tidak ada pencampuran antara kebenaran dan keyakinan (keyakinannya ditengarai
sebagai kebenaran). Salah satu integritas dari kewibawaan adalah dengan
pemikiran dari berbagai sudut pandang, tidak hanya melihat fakta dari satu sisi
saja.
4. Apakah publik bersedia menerima
kewibawaan tersebut?
Tidak semua kewibawaan dapat
diterima dan bersesuaian dengan pemikiran masyarakat luas. Maka apabila
kewibawaan ini tidak diterima, setidaknya harus terdapat dokumentasi maupun
pengarsipan informasi dan latar belakang sebagai sebuah kewibawaan.
III.
KESIMPULAN
Otoritas atau kewibawaan adalah pendapat serta
pernyataan yang didukung oleh fakta dan pemikiran berdasar pada evidensi
objektif. Fakta-fakta tersebut harus relevan dengan evidensi objektif sendiri,
yakni data-data yang diamati, diulur, dan dieksperimenkan.
Terdapat golongan yang mendasarkan eksperimen
pemikiran terhadap satu otoritas tertentu, yang dinamai otoritarianisme.
Otoritarianisme mempunyai dua pengertian, yakni pandangan yang mendukung
ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan atau
pengarahan hidup –atau keyakinan politis- yang benar, serta kepercayaan bahwa
pengetahuan dijamin dan disahkan oleh suatu sumber yang otoriter tanpa
pemikiran kritis pembuktian atau kesaksian sebagai lawan dari fakta maupun
palsu.
Agar otoritas dan
kewibawaan dapat dijadikan acuan, maka harus terdapat filterisasi otoritas dan
kewibawaan tersebut, agar nantinya tidak terjadi kesalahan dikarenakan
kesalahan pemikiran yang bersandar pada ororitas dan kewibawaan tersebut. Maka
terdapat ukuran-ukuran pengujian dalam menentukan keabsahan otoritas dan
kewibawaan.
IV.
BIBLIOGRAFI
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia.
Blackburn, Simon. 2013. Kamus Filsafat.
Yudi Santoso (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Darity, William A. 2008. Encyclopedia of the Social Sciences. Macmillan
Reference.
Engels, Friedrich. “On Authority”. http://www.marxists.org//, diakses Selasa,
17 Mei 2016.
Molan,
Benyamin. 2014. Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis. Jakarta: Indeks.
Mundiri. 1998. Logika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Salam, Burhanuddin. 1988. Logika Formal
(Filsafat Berpikir). Jakarta: Bina Aksara.
W., Poespoprodjo dan T. Gilarso. 1987. Logika
Ilmu Menalar. Bandung: Remaja Karya.
______________. 2015. Logika
Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Setia.
Yaqub, Ali Mustafa. 2014. Hadis-hadis
Bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 768.
[2]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 768-769.
[4]
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003, hlm.
[5]
Friedrich Engels, “On
Authority”, http://www.marxists.org//,
diakses Selasa, 17 Mei 2016, hlm.
1.
[6]
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Yudi Santoso (terj.), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013, hlm.
[7]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767.
[8]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767-768.
[9]
Mundiri, Logika, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 190.
[10]
Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, Jakarta: Indeks,
2014, hlm. 43.
[11]
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2014, hlm. 78.
[12]
Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir, hlm. 43.
[13]
Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung: Remaja
Karya, 1987, hlm. 189.
[14]
Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, hlm. 190.
[15]
Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Jakarta: Bina
Aksara, 1988, hlm. 104.
[16]
W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, Bandung :
Pustaka Setia, 2015, hlm. 249.
[17]
W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, hlm. 250-251.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar