Maqasid
Syari’ah menurut bahasa berasal dari dua
kata, yaitu maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk
jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syariah
secara bahasa artinya jalan menuju sumber air, yang juga bisa diartikan jalan
menuju sumber kehidupan. Dengan demikian maqasid syari’ah secara
etimologis adalah tujuan penetapan syari’ah. Pengertian ini dilandasi asumsi
bahwa penetapan syariah memiliki tujuan tertentu oleh Pembuatnya (syari’).
Tujuan penetapan itu diyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran
syariah. Tidak ada hukum yang ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis
melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan.[1]
Imam
Asy-Syatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:
1.
Tujuan
utama syariah adalah mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.
Syariah
adalah sesuatu yang harus dipahami manusia.
3.
Syariah
adalah suatu hukum taklify yang harus dilakukan.
4.
Tujuan
syariah adalah membawa manusia ke dalam naungan dan perlindungan hukum.[2]
Tujuan konsep maqasid syariah adalah untuk menjamin, memberikan
perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya
umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal: daruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
A.
Maslahah
Daruriyat
Daruriyat artinya
kebutuhan yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. Kebutuhan daruriyat dianggap
esensial sehingga jika kalau tidak terpenuhi akan terjadi kekacauan secara
menyeluruh. Menurut Hallaq, daruriyat mengandung dua pengertian: pertama,
kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan, kedua, segala hal yang
dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan. Menurut
Asy-Syatibi yang termasuk kategori daruriyat adalah lima perkara yang
harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs),
akal (al-‘aql), harta (al-mal) dan keturunan (al-nasl).[3]
B.
Maslahah
Hajiyat
Hajiyat secara bahasa
artinya kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan sebagai
aspek-aspek yang dibutuhkan dalam rangkai pencapaian kebutuhan daruri,
artinya dengan terpenuhinya kebutuhan hajiyat, dapat menghindari
kesulitan pencapaian kebutuhan daruriyat. Namun jika kebutuhan hajiyat
ini tidak terpenuhi, tidak sampai merusak keberadaan kebutuhan daruriyat.
Hanya saja, jika tidak terpenuhi akan terjadi ketidaksempurnaan dalam pemenuhan
kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, hajiyat sering diidentifikasi
dengan kebutuhan sekunder.[4]
C.
Maslahah
Tahsiniyat
Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam
pembahasan ini, tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat
menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat
dari tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama
dari faktor estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya
akan mengurangi keindahan saja. Oleh karena itu, kebutuhan ini sering dinamakan
juga kebutuhan tersier.[5]
Dan tiga kemaslahatan ini memiliki kaitan yang erat antara satu
sama lain, terutama dari sisi fungsinya. Daruriyat sebagai prioritas
utama, hajiyat sebagai pelengkap
dan tahsiniyat sebagai penyempurna.
[1] Ali
Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
2014), hlm. 143.
[2] Ali
Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 146-147.
[3] Ali
Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 149.
[4] Ali
Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 153.
[5] Ali
Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar